3 Jun 2013

Malaikat Tak Bersayap


via
Aku tidak pernah memiliki seorang teman. Orang bilang aku cupu. Dan seperti yang selalu terjadi di film-film,mereka yang berlabel “nerd” tak pernah berteman dengan anak-anak populer di sekolah. Di kasusku,bahkan mereka yang tidak populer pun enggan berteman denganku. Maka akupun menyibukkan hari-hari sekolahku hanya dengan belajar tanpa memperdulikan perasaan manusiawiku yang membutuhkan seorang teman. Ayah dan ibu sudah cukup perhatian dan jadi teman curhatku selama ini.
Mungkin karena itu juga aku masih belum terlalu mengenal semua orang di kantor baruku ini. belum genap seminggu aku disini. Tapi semua orang cukup hangat menyambut kedatanganku. Mungkin hanya aku yang kurang pandai bergaul.


Aku melirik jarum jam di mejaku lagi. 18:15. Hujan diluar masih cukup deras. Dan aku tidak akan memaksakan diri pulang bersepeda motor tanpa memakai jas hujan yang tidak sengaja tertinggal di rumah. Lagipula aku ingin menyelesaikan pekerjaanku hari ini. Tinggal aku sendirian di kantor ini sebelum aku menyadari pintu ruang tengah yang tiba-tiba terbuka dan seorang laki-laki masuk dari sana. Dengan baju yang sedikit basah karena ada bekas titik-titik air disana,ia terlihat seperti habis kehujanan. Aku berusaha berpura-pura untuk tidak menyadari  kehadirannya,tapi terlambat! Yang aku lihat dari ekor mataku,dia sedang berjalan ke arahku.

Aku masih berpura-pura fokus menghadap layar komputer ketika dia sudah berdiri di sebelah kubikelku dengan senyum hangatnya.
“Kamu anak baru,ya?” ia menanyaiku.
“Iya,pak” aku menjawab singkat sambil berusaha tersenyum,tapi mungkin yang terlihat malah cengiran kuda. 
Dari penampilannya,kami sepertinya hanya berbeda usia beberapa tahun. Dan aku tahu mungkin ia belum layak untuk kupanggil “pak”. Aku hanya berusaha sopan.
“Kenalkan,saya Doni” ia mengulurkan tangannya padaku.
“..Rara..” jawabku sambil menjawab uluran tangannya.

Usianya mungkin belum genap 30 tahun. Tinggi tegap,posturnya terlihat proporsional. Penampilannya rapi. Tapi sepertinya dia sudah bertahun-tahun bekerja disini. Mungkin ia memegang jabatan penting.
“Lembur sambil nunggu hujan reda,ya?” Oh! Dia masih berdiri disana rupanya.
“Iya,pak”
“Kamu lapar,nggak? Saya mau bikin roti bakar mumpung dingin-dingin begini,temenin saya,ya!”

Haa? Dan aku masih bengong melihat keramahan orang ini. Yang terjadi kemudian,aku mengekor dibelakangnya hingga kami berada di dapur.
Wow! Pak Doni lihai sekali membuat roti bakar. Aku kira laki-laki kantoran seperti dia mana mau berkotor-kotor di dapur. Sambil membuat roti bakar dan teh panas untuk kami,dia bercerita panjang lebar tentang pengalamannya disini,diapun berbasa-basi padaku dengan menanyakan kecocokanku disini. Dia menanyakan umurku,dan ketika tahu bahwa kami tak berbeda usia jauh,ia melarangku memanggilnya “pak”. Dia menjelaskan padaku bahwa dia baru saja pulang dari dinas luar kota. Bahkan chemistry diantara kami seperti kami sudah saling kenal bertahun-tahun. Dia tidak membuat jarak antara senior dan anak baru. Untuk aku yang tak pernah merasakan keramahan seorang teman baru,aku merasa cukup nyaman.

Kami mengobrol lama sekali malam itu,hingga jam-jam berlalu di antara kami tidak terasa. Titik-titik air hujan yang menabrak kaca jendela yang menemani kami sedari tadi sudah mengalir ke selokan air dibawah sana. Aku tidak merasakan dingin lagi. Bukan karena hujan sudah reda,tapi karena keramahan teman baruku ini. Lalu kami berpisah di lobby kantor,karena dia beralasan akan menyelesaikan laporan dinas luar kota-nya malam itu juga.

***
Esok paginya,aku berangkat ke kantor dengan bersemangat. Aku berharap aku bisa bertemu lagi dengan teman-teman baruku,terutama Doni. Aku tak pernah sesemangat ini untuk bertemu teman-temanku,karena nyatanya,aku tak pernah memiliki teman.

Kantor sudah ramai,dan di dekat kubikelku berkumpul beberapa karyawan yang sedang mengobrol. Ketika aku melewati mereka sebelum sampai ke kubikelku,aku mendengar nama Doni disebut. Tapi percakapan mereka aneh. Aku lihat ekspresi mereka seperti kehilangan. Aku memberanikan diri bertanya pada salah satu dari mereka. Ada mbak Ajeng,yang kubikelnya bersebelahan denganku disana.
“Ngobrolin apa sih mbak?”
“Ooh..nanti malam acara tujuh harinya GM kita yang sudah meninggal,Ra..”
“Meninggal? Karena sakit,mbak?”
“Bukan,kecelakaan pas mau pulang dari dinas luar kota..”
“Innalillahi..orangnya yang mana mbak?”
“Kamu mungkin nggak tahu orangnya,soalnya beliau meninggal sehari sebelum kamu masuk. Namanya Pak Doni. Kasian banget,belum nikah lho padahal,Ra. Banyak yang patah hati nih..”
Aku sedikit terkejut,tapi aku berharap mungkin ada dua orang bernama Doni disini.
“Yang mana sih mbak orangnya?” tanyaku

Mbak Rara mengambil Blackberry dari sakunya dan memperlihatkanku foto seseorang yang membuatkanku roti bakar semalam. Oh Tuhan..lututku gemetaran dan aku langsung menuju kursiku tanpa memperdulikan mbak Ajeng yang masih menceritakan tentang Pak Doni.

Jika tadi malam yang Engkau kirimkan padaku itu malaikat,terima kasih telah mengijinkanku berteman dengannya,Tuhan..