via |
Menjelang tengah hari aku dan
emak pulang ke rumah. Pasar sudah mulai sepi. Pedagang-pedagang lain juga sudah
mulai beranjak dari sini. Mendung sudah menggelayut di langit. Hari itu masih
seperti biasanya. Dan seperti pemandangan yang biasa pula aku menemukannya
disana. Ia masih terduduk di pinggir jalan dengan pandangan kosong. Ia masih
memakai baju yang sama sejak kejadian itu. Bahkan setelah beberapa tahun
berlalu..
***
Ia berumur beberapa tahun diatasku. Aku hanya tahu namanya dari orang-orang desa kami yang sering membicarakan dia. Adi. Ia terlahir sebagai anak yatim. Ibunya hanya buruh tani dan tukang sapu pasar disini. Tapi ia berbeda dengan anak-anak desa kebanyakan. Bukan tipe main-seharian-sampai-lupa-waktu. Walaupun sekolah di desa kami ada di depan balai desa yang jauh sekali dari rumahnya,ia tidak pernah absen. Meskipun aku juga anak orang miskin,tapi aku masih punya sandal jepit abangku yang sudah tak lagi muat di kakinya yang bisa aku pakai kemanapun,termasuk ke sekolah. Tapi aku tak pernah melihat Adi beralas kaki.
***
Siang itu selepas mencuci baju di
pinggir sungai,aku buru-buru pulang. Setelah dari pasar,emak akan langsung ke
sawah bersama bapak,dan aku harus sudah di rumah sebelum mereka pulang. Oh,tapi
aku sedang tidak beruntung hari itu. Jalanan berlumpur yang masih licin bekas
hujan deras semalam langsung menyambutku. Aku terpeleset. Dengan sukses aku
jatuh tengkurap dan sandal jepitku sebelah kiri sudah terapung di sungai. Ya
Tuhan,aku harus mengejar sandalku itu,atau aku akan nyeker setiap hari karena emak tidak akan bisa membelikanku sandal
lagi. Susah payah tubuh kecilku meraih sandal yang sudah pudar warna aslinya
itu. Aku tidak tahu sedari tadi Adi berada dimana,lalu disanalah dia,mengejar
sandalku yang sudah cukup jauh terbawa arus. Aku takjub melihatnya
berbasah-basahan mengejar sandalku. Aku masih ingat raut mukanya waktu itu.
Mengulurkan sandal itu padaku sambil nyengir.
***
Dari cengiran itu kami mulai
berteman. Selain sekolah,ia juga membantu ibunya di sawah,ia mencarikan rumput
untuk sapi atau menggembalakan bebek milik tetangga yang upahnya tidak
seberapa. Aku tak pernah melihat Adi bersedih,bahkan di keadaan seperti itu.
Ya,aku tahu bagaimana perasaannya karena aku juga sama sepertinya.
Aku tidak bisa melanjutkan
sekolahku ke tingkat selanjutnya. Bapak meninggal dunia,jadi abang mengambil
alih semua tugasnya. Dan aku pasti tidak akan punya waktu untuk belajar lagi karena
aku harus membantu emak juga. Aku tak pernah bertemu Adi lagi,tapi yang
kudengar sekarang ia mempunyai masa depan yang lebih cerah daripada anak-anak
desa kami. Ia terbantu oleh beasiswa yang membebaskannya untuk melanjutkan
sekolah. Lalu aku dengar lagi beberapa tahun kemudian,ia hanya perlu melewati
satu ujian lagi untuk bisa masuk ke sekolah kedokteran terkenal di negeri ini.
Antara bahagia mengetahui Adi bisa mengejar cita-citanya dan sedih karena
akupun ingin bernasib seperti Adi. Tapi ia memang pantas mendapatkannya.
***
Siang hari,di depan pasar ini
ibunya tewas tertabrak mobil. Petang di hari yang sama saat ia pulang dari sekolah,ia diserang
anak-anak kota teman sekolahnya yang tak rela Adi berhasil mengikuti ujian
keesokan harinya. Sepedanya dihancurkan,ia dipukul beramai-ramai di jalanan
sepi menuju desannya. Anak-anak kota yang payah. Ia kehilangan teman hidup
susah-senang selama ini,ditambah ia tak bisa melanjutkan cita-citanya lagi. Adi
tak sanggup menanggungnya sendiri. Lalu ia terduduk di pinggir jalan depan
pasar itu tiap hari. Sambil menunggu ibunya kembali dari pasar. Terik mentari
atau hujan deras tak menghentikannya. Tapi ibunya tak pernah datang. Tak akan
pernah.
Lalu aku hampiri Adi yang duduk
di pinggir jalan dan masih berseragam putih abu-abu yang sudah berubah
warna,kumal,dan sobek disana-sini itu. Aku berikan padanya sedikit nasi dan
sepotong tahu tempe berbungkus daun pisang. Tangannya tak merespon
pemberianku,jadi aku meletakkan bungkusan ini di tangannya. Aku berharap
melihat cengirannya waktu ia menolongku mengambil sandal jepitku yang hanyut
waktu itu. Pasti berat sekali untuknya,hingga segala yang ia punya ikut
menghilang. Aku melihat ke dalam mata coklat teduh yang sekarang hanya bisa
memandang kosong itu. Aku sedikit terkejut setelah itu. Matanya memandangiku
untuk beberapa saat. Ya! Aku kenal sinar itu! Dalam beberapa saat itu pula ia
memandang mataku seperti mengingatku. Emak ikut memekik melihat kejadian ini.
“Cepetan di makan ya,Di..”
Aku tidak bisa berkata apa-apa
lagi pada Adi. Aku cukup bahagia melihatnya hampir sadar seperti itu. Tapi
kemudian sinarnya meredup lagi. Seperti menarik diri jauh ke dalam. Ia kembali
memandangi jalanan yang sudah gerimis dengan pandangan kosong lagi.
***
Dan hujan deras
mengguyurnya,hingga ia hanya mampu membiarkan sepotong tahunya hanyut menjauhinya.