Ba’da maghrib menjelang isya’,Selasa 15 Oktober yang
bertepatan dengan 10 Dzulhijah 1434 H,di tengah suasana hangat Surabaya,seseorang
berbaik hati memperdengarkan suaranya kepada saya. Setelah siangnya kami sempat
beradu argumen yang kemudian membuat saya enggan berbicara dengannya ketika itu.
Tentang hal remeh yang kemudian membuat saya jadi lebih sensitif daripada layar
smartphone keluaran terbaru. Lalu
dengan tulus demi mengembalikan mood saya
(sepertinya begitu niatnya),seseorang itu menawari saya untuk memperdengarkan
suaranya ketika mengaji. Saya lalu mengiyakannya. Dengan harapan mood saya akan membaik setelah itu.
Dan disanalah kami. Pada masing-masing ruang yang berbeda
namun pada waktu yang sama. Indonesia bagian barat. Terpisah jarak +90 Km.
Tidak terlalu jauh,dan sinyal telepon masih cukup bersahabat. Kecuali pada
waktu-waktu tertentu ketika server
messenger sedang lumpuh. Jadi saya mulai memasang headset pada telinga
saya. Bersiap untuk mendengarkan suaranya via telepon. Tadinya saya sibuk main
Zuma sambil menyalakan musik dari laptop. Kemudian saya segera mematikan musik
dari Winamp,mematikan game saya yang baru setengah permainan,dan mematikan
kipas angin kecil saya yang bunyi baling-balingnya mulai berisik.
Lalu dia mulai membaca ayat-ayat suci di tiap baris yang ada pada kitab yang suci pula di
depannya. Suaranya tanpa ragu. Mantap. Meskipun ada beberapa kata yang kurang
tepat,dia mengulanginya dengan suara yang sama mantapnya. Saya merinding
sekaligus berdebar-debar mendengarkannya. Saya mencari-cari opsi untuk merekam
suaranya di handphone saya,tapi
nihil. Maklum HP jelek. Saya melirik jam di HP saya sebentar-sebentar,berharap
waktu berjalan lebih lambat. Saya mulai berkeringat. Kepanasan. Bukan karena
saya setan! Tapi karena kipas yang saya matikan tadi. Saya eman sekali untuk
menyalakan kipas lagi. Mending saya kepanasan biar suara ngajinya jadi jelas.
Saya nikmati suaranya,saya membukakan telinga lebar-lebar pada ayat-ayat suci
yang dia perdengarkan. Saya langsung teringat Al-Qur’an pemberiannya yang
belakangan jarang saya baca. Astaghfirullah. Saya berkata pada diri saya
sendiri untuk mengaji lebih rajin lagi.
Dan suara itu,yang selalu bisa dengan tenang mengendalikan
emosi saya. Yang kemudian membuat saya mengingatkan diri saya sendiri untuk menjadi
lebih tenang dalam mengendalikan emosi saya sendiri. Untuk tidak terlalu larut
dalam pengharapan saya. Untuk tidak terlalu tinggi dalam berekspektasi. Untuk
tetap berusaha sambil berusaha ikhlas bila belum saatnya tiba,pada saat yang
bersamaan. Sepanjang 16 menit 47 detik itu saya dengarkan dengan beberapa saat
saya berkaca-kaca merasakan antara betapa saya yang berekspektasi terlalu
tinggi padanya. Saya yang terlalu sibuk mengharap sesuatu berjalan seperti
kemauan saya.
Dan saya berterima kasih untuk 16 menit 47 detik itu. Untuk
memperbaiki mood saya sore itu,dan
juga jadi bagian rutinitasnya. Menjadi saksi untuk mendengar ayat-ayat suci itu
dibacanya seperti pada hari-hari lain di antara salam tahiyyat akhir sholat
maghrib hingga adzan isya’ berkumandang.