@ariantifebi |
Saya mengunjunginya lagi. Kali ini saya masuk melalui pintu
yang berbeda dari kunjungan-kunjungan sebelumnya : Nongkojajar,Pasuruan. Saya
bukan pendaki,dan Bromo adalah satu-satunya gunung yang pernah saya kunjungi.
Meskipun begitu,saya juga merasakan perjuangan para pendaki untuk mencapai
puncak,hanya dalam bentuk yang lebih mudah : mengalahkan ratusan anak tangga. Dan
kemudian diganjar pemandangan indah dari puncaknya.
Kunjugan sebelumnya saya berbekal pengharapan besar untuk
dapat menyaksikan fajar terbangun dan menyapa bumi. Ada kupu-kupu menari-nari
di perut saya. Sel-sel retina saya bersiap menangkap warna-warna ajaib yang
mengiringi sang fajar. Bukan hari keberuntungan saya kala itu. Kabut
menghalangi segalanya dan kupu-kupu di perut saya ikut mati. Saya masih
memimpikan menyaksikan sunrise dengan
khidmat di puncak gunung.
Nyatanya mentari pun enggan muncul setiba saya di Penanjakan View Point! Saya memantapkan kaki melangkah menuju pendoponya. Tempat ini lebih
tinggi dari puncak Bromo menurut saya. Kumparan kabut menyambut saya ketika
itu. Tidak ada yang bisa dilihat dari sana. Bromo dan keindahan di sekitarnya
tidak tampak. Putih. Barangkali hidup seperti ini,ketika sesuatu yang tidak
menyenangkan terjadi,kita mungkin hanya merasakan dinginnya kabut,deru angin
yang bertiup cukup kencang untuk makin membuat tubuh menggigil dan hanya
melihat kumparan putih yang menggantung tidak jauh dari puncak kepala kita.
Tapi,andai kita lebih memilih untuk bersabar menunggu hingga kabut pergi atau
berpikiran positif seperti sinar mentari yang tiba-tiba menyeruak membubarkan
kumparan mengganggu itu,mata kita akan menemukan keindahan yang lebih
menyehatkan sel-sel retina kita. Tuhan punya sesuatu yang indah dibalik itu
semua.
Meskipun View Point dipenuhi kabut,dan sempat menggigil
kedinginan disana,saya lebih memilih ini daripada menggigil kedinginan di dalam mall.