18 Jan 2014

Penanjakan View Point,14 Januari 2014

@ariantifebi
Saya mengunjunginya lagi. Kali ini saya masuk melalui pintu yang berbeda dari kunjungan-kunjungan sebelumnya : Nongkojajar,Pasuruan. Saya bukan pendaki,dan Bromo adalah satu-satunya gunung yang pernah saya kunjungi. Meskipun begitu,saya juga merasakan perjuangan para pendaki untuk mencapai puncak,hanya dalam bentuk yang lebih mudah : mengalahkan ratusan anak tangga. Dan kemudian diganjar pemandangan indah dari puncaknya.

Kunjugan sebelumnya saya berbekal pengharapan besar untuk dapat menyaksikan fajar terbangun dan menyapa bumi. Ada kupu-kupu menari-nari di perut saya. Sel-sel retina saya bersiap menangkap warna-warna ajaib yang mengiringi sang fajar. Bukan hari keberuntungan saya kala itu. Kabut menghalangi segalanya dan kupu-kupu di perut saya ikut mati. Saya masih memimpikan menyaksikan sunrise dengan khidmat di puncak gunung.

Nyatanya mentari pun enggan muncul setiba saya di Penanjakan View Point! Saya memantapkan kaki melangkah menuju pendoponya. Tempat ini lebih tinggi dari puncak Bromo menurut saya. Kumparan kabut menyambut saya ketika itu. Tidak ada yang bisa dilihat dari sana. Bromo dan keindahan di sekitarnya tidak tampak. Putih. Barangkali hidup seperti ini,ketika sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi,kita mungkin hanya merasakan dinginnya kabut,deru angin yang bertiup cukup kencang untuk makin membuat tubuh menggigil dan hanya melihat kumparan putih yang menggantung tidak jauh dari puncak kepala kita. Tapi,andai kita lebih memilih untuk bersabar menunggu hingga kabut pergi atau berpikiran positif seperti sinar mentari yang tiba-tiba menyeruak membubarkan kumparan mengganggu itu,mata kita akan menemukan keindahan yang lebih menyehatkan sel-sel retina kita. Tuhan punya sesuatu yang indah dibalik itu semua.

Meskipun View Point dipenuhi kabut,dan sempat menggigil kedinginan disana,saya lebih memilih ini daripada menggigil kedinginan di dalam mall.